matematika dan islam
MATEMATIKA DAN ISLAM
Matematika oleh sebagian orang lebih banyak dikenal sebagai disiplin ilmu
yang tidak memiliki kaitan dengan keislaman (baca: al-Qur’an). Banyak pendapat
yang mengatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang dihasilkan oleh
orang-orang Barat sehingga di dalamnya jauh dari nilai-nilai spiritual. Bahkan,
ada juga pihak instansi/lembaga pendidikan “Islam” yang tidak membolehkan
matematika untuk diajarkan kepada anak didiknya. Inilah sekilas fakta yang
masih menjangkiti masyarakat di sekeliling kita. Benarkah statemen yang
demikian?
Berdasarkan hasil refleksi, perenungan, kajian, analisis, dan
diskusi-diskusinya, Abdusyakir (penulis buku) telah menemukan aspek baru -yang
mungkin selama ini tidak banyak diperhatikan oleh orang lain- dalam matematika,
terutama yang berhubungan dengan model pembelajaran matematika. Menurutnya,
sesungguhnya matematika itu memiliki hubungan yang sangat erat dengan tradisi
spiritual umat Islam, akrab dengan al-Qur’an, dan tentunya matematika juga
dapat dijadikan sebagai “jalan” menuju pencapaian manfaat-kebahagiaan baik di
dunia maupun akhirat.
Matematika berada pada posisi di antara dunia nyata dan dunia ghaib.
Matematika tidak berada di dunia nyata sehingga objek matematika bersifat
abstrak dan tidak berada di dunia ghaib sehingga objek matematika bukan suatu
“penampakan”. Membawa objek dunia nyata ke dalam bahasa matematika disebut
dengan abstraksi dan mewujudkan matematika dalam dunia nyata disebut aplikasi.
Matematika berada di antara dunia syahadah dan ghaibiyah. Dengan demikian, maka
matematika bersifat “setengah nyata dan setengah gaib”. Untuk memahami objek
yang nyata diperlukan pendekatan rasionalis, empiris, dan logis (bayani dan
burhani). Sedangkan untuk memahami objek yang gaib diperlukan pendekatan
intuitif, imajinatif, dan metafisis (irfani). Kekuatan utama dalam matematika
justru terletak pada imajinasi atau intuisi yang kemudian diterima setelah
dibuktikan secara logis atau deduktif. Dengan demikian, maka untuk mempelajari
matematika perlu penggabungan ketiga pendekatan tersebut, yaitu bayani,
burhani, dan ‘irfani.
Dengan demikian, matematika perlu dipelajari dengan kedua potensi kita,
jasmani dan ruhani, aql dan qalb secara bersamaan. Qalb saja memang dapat
mempelajari matematika, tetapi kadang tidak dapat memberikan penjelasan yang
logis dan rasional. Qalb dapat menjawab 3 + 4 = 7, tetapi kadang tidak dapat
menjawab mengapa bisa 7. Aql saja dapat mempelajari matematika, tetapi kadang
terlalu lama dalam berpikir dan tidak dapat menangkap hakikat. Belajar
matematika perlu melibatkan potensi intelektual, emosional, dan spiritual
secara bersamaan. Perlu penggunaan aql dan qalb secara bersama, melalui jalur
jasmani (kasab) dan juga jalur ruhani (kasyaf). Aspek pengembangan kemampuan
berpikir (kognitif), sikap (afektif), dan prilaku (psikomotor) dalam belajar
matematika dapat tercapai dengan baik dengan paradigma ulul albab. Potensi
dzikir untuk mengembangkan aspek afektif dan fikir untuk mengembangkan aspek
kognitif agar menghasilkan amal sholeh (psikomotor). Belajar matematika yang
abstrak, yang memerlukan kemampuan pikir dan imajinasi dapat dilakukan dengan
paradigma ulul albab yang menggunakan pendekatan rasionalis, empiris, dan logis
(bayani dan burhani) sekaligus pendekatan intuitif, imajinatif, dan metafisis
(irfani).
Aspek-aspek matematika sebenarnya telah termaktub dalam al-Qur’an. Dalam
al-Qur’an itu juga membicarakan konsep–konsep matematika. Hal ini akan dapat
mematahkan “kepercayaan” sebagian orang yang meyakini bahwa matematika itu
produk Barat. Konsep yang dipaparkan di antaranya mengenai: konsep himpunan,
bilangan, pengukuran, statistika, estimasi, dan keajaiban-keajaiban matematika
lainnya yang tersurat dalam al-Qur’an.
Pembahasan yang menarik dan unik, tetapi tidak banyak orang yang
menyentuhnya adalah kajian tentang upaya memetik hikmah (makna tersirat) di
balik konsep-konsep abstraksi yang ada dalam matematika atau memahami konsep
matematika dalam konteks keislaman. Kajian matematika untuk menjelaskan posisi
manusia dan keberadaan sesuatu yang lain di atas dimensi manusia; analisis
angka dalam gerakan shalat; pengambilan perumpamaan dari bilangan-bilangan
sehingga disajikan dua jenis manusia, yaitu manusia asli dan manusia prima.
Pendek kata matematika dapat dijadikan sumber pelajaran dalam rangka menapaki hidup
menuju ridha-Nya.
Dengan upaya pemaknaan secara “Islami” diharapkan dapat mengobati “luka”
lama umat Islam terhadap “sakit apatisme” pada matematika yang selama ini telah
menjangkitinya. Akibatnya akan muncul gerakan “Sadar Matematika” di dunia ini,
sehingga kejayaan dan peradaban Islam akan dapat dicapai kembali. Sudah
saatnya, dewasa ini umat Islam mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan
di dunia global. Sudah tidak ada alasan lagi untuk menolak kehadiran kecanggihan
informasi dan teknologi. Tetapi, satu hal yang perlu diingat bahwa semua yang
kita tekuni harus tetap berporos terhadap landasan al-Qur’an dan hadits. Maka,
kebahagiaan dunia akhirat dapat kita capai secara bersama-sama.
Pengetahuan akan matematika dan islam semoga dapat menjadi obat mujarab
bagi kesembuhan penyakit apatisme umat Islam terhadap ilmu matematika (atau
ilmu-ilmu sains lainnya). Bagi umat Islam, khususnya pengajar matematika,
siswa, mahasiswa, santri, dan lainnya sangat diharapkan untuk dapat membaca,
mempelajari, memahami, lalu mengamalkan pesan-pesan matematika yang tersirat
dalam al-Qur’an.
Komentar
Posting Komentar